Quote

"If better is possible, good is NOT enough"

~Andrie Wongso~

Senin, 22 Desember 2014

Fenomena Sains yang Telah Terjelaskan di dalam Al-Qur'an

Pada buku Ippho Santosa yang berjudul 7 Keajaiban Rezeki, beliau memaparkan beberapa fenomena sains yang telah tercantum di Al-Quran jauh sebelum penemuan itu terbukti nyata. Fenomena-fenomena itu antara lain:
  1. Teori Relativitas Waktu yang dikemukakan Albert Einstein pada abad 20. sementara itu, pada abad 7 sebuah ayat di dalam Al-Quran seolah-olah telah mengisyaratkan ini, "Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan itu) naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitungan engkau (QS. 32: 5)."
  2. Menurut teori Big Bang, sekitar 13,7 miliar tahun silam alam semesta berasal dari satu titik tunggal yang padu, kemudian meledak. Dan, 2,5 miliar tahun silam,kehidupan di bumi bermula di air, tepatnya di laut. Sebuah ayat seolah-olah mengisyaratkan ini, "Sesungguhnya langit dan bumi itu keduanya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya. Dan dari air Kami mulakan segala kehidupan (QS. 21: 30)."
  3. Menurut Teori Expanding Universe yang dikemukakan pada abad 20, alam semesta ini terus menerus meluas. Sementara itu, belasan abad sebelumnya sebuah ayat seolah-olah telah mengisyaratkan ini, "Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan Kami, dan sesungguhnya Kami-lah yang meluaskannya (QS. 51: 47)."
  4. Ptolemeus menganggap tata surya ini bumi-sentris (150 M), sedangkan Copernicus menganggap matahari-sentris (1543 M). Ternyata, bumi dan matahari beredar. Sebuah ayat seolah-olah mengisyaratkan ini, "Maka Dia jadikan tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya (QS. 41: 12)."
  5. Atmosfer bumi terdiri dari tujuh lapis, dan tiap-tiap lapis mempunyai peranan tersendiri. Sebuah ayat seolah-olah mengisyaratkan ini, "Maka Dia jadikan tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit utusannya (QS. 41 :12)."
  6. Besi (Fe) tidak dihasilkan di bumi, tetapi diturunkan ke bumi melalui meteor, yang berasal dari bintang-bintang yang meletup. Sebuah ayat seolah-olah mengisyaratkan ini, "Dan Kami turunkan besi, yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia. (QS. 57: 25)."
  7. Kehidupan di dalam rahim memiliki tiga tahapan, yaitu pre-embrionik, embrionik, dan janin. Sebuah ayat seolah-olah mengisyaratkan ini, "Dia menjadikan engkau dalam perut ibu engkau kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan (QS. 39: 6)."

Kamis, 18 Desember 2014

SENYAWA PADA TUMBUHAN



Hormon tumbuhan adalah senyawa organik yang disentesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis. Hormon adalah molekul-molekul yang kegiatannya mengatur reaksi-reaksi metabolik penting.  Molekul-molekul tersebut dibentuk di dalam organisme dengan proses metabolik dan tidak berfungsi didalam nutrisi (Heddy, 1989).
Hormon tanaman dapat diartikan luas, baik yang buatan maupun yang asli serta yang mendorong ataupun yang menghambat pertumbuhan (Overbeek,1950 dalam Kusumo, 1984). Pada kadar rendah tertentu hormon/zat tumbuh akan mendorong pertumbuhan, sedangkan pada kadar yang lebih tinggi akan menghambat pertumbuhan, meracuni, bahkan mematikan tanaman (Kusumo,1984). Hormon yang telah dikenal: auksin, sitokinin,  giberelin, asam absisat dan etilen.
Hormon Auksin
Auksin banyak disusun di jaringan meristem di dalam ujung-ujung tanaman seperti pucuk, kuncup bunga, tunas daun dan lain-lainnya lagi (Dwidjoseputro, 1990).
Kusumo (1984) menyatakan perakaran  yang timbul pada stek disebabkan oleh dorongan auksin yang berasal dari tunas dan daun. Tunas yang sehat pada batang adalah sumber auksin dan merupakan faktor penting dalam perakaran.
Tempat sintesis utama auksin pada tanaman yaitu di daerah meristem apikal tunas ujung.  IAA yang diproduksi di tunas ujung tersebut diangkut ke bagian bawah dan berfungsi mendorong pemanjangan sel  batang.  IAA mendorong pemanjangan sel  batang hanya pada konsentrasi tertentu yaitu 0,9 g/l. Di atas konsentrasi tersebut IAA akan menghambat pemanjangan sel batang. Pengaruh menghambat ini kemungkinan terjadi karena konsentrasi  IAA  yang tinggi mengakibatkan  tanaman mensintesis ZPT lain yaitu etilen yang memberikan pengaruh berlawanan dengan IAA.
Jumlah kadar auksin yang terdapat pada organ stek bervariasi. Pada stek yang memiliki kadar auksin lebih tinggi, lebih mampu menumbuhkan akar dan menghasilkan persen hidup stek lebih tinggi daripada stek yang memiliki kadar yang rendah. Sebagaimana diketahui bahwa auksin adalah jenis hormon penumbuh yang dibuat oleh tanaman dan berfungsi sebagai katalisator dalam metabolisme dan berperan sebagai penyebab perpanjangan sel (Alrasyid dan Widiarti, 1990).
Ada beberapa macam hormon dari kelompok auksin ini, antara lain adalah IAA (Indole Acetic Acid), NAA (Napthalen Acetic Acid) dan IBA (Indole Butyric Acid).
·         Fungsi utama dari hormon auksin : mempengaruhi pertambahan panjang batang,  pertumbuhan, diferensiasi dan percabangan akar; perkembangan buah; dominansi apikal; fototropisme dan geotropisme.
·         Tempat dihasilkan dan lokasinya pada tumbuhan : Meristem apikal tunas ujung, daun muda, embrio dalam biji.

Hormon  Sitokinin
Sitokinin  merupakan ZPT yang mendorong  pembelahan (sitokinesis).  Beberapa macam  sitokinin merupakan sitokinin alami (misal : kinetin, zeatin) dan beberapa lainnya  merupakan sitokinin sintetik.  Sitokinin alami dihasilkan pada jaringan yang tumbuh aktif terutama pada akar, embrio dan buah. Sitokinin yang diproduksi di akar selanjutnya diangkut oleh xilem menuju sel-sel target pada batang.

Hormon Giberelin
Pada tahun 1926, ilmuwan Jepang (Eiichi Kurosawa) menemukan bahwa cendawan  Gibberella fujikuroi mengeluarkan senyawa kimia yang menjadi penyebab penyakit tersebut. Senyawa kimia tersebut dinamakan Giberelin.  Belakangan ini, para peneliti menemukan bahwa giberelin dihasilkan secara alami  oleh tanaman yang memiliki fungsi  sebagai ZPT. Penyakit rebah kecambah ini akan muncul pada saat tanaman padi terinfeksi  oleh cendawan Gibberella fujikuroi yang menghasilkan senyawa giberelin  dalam jumlah berlebihan.

Hormon Asam Absisat (ABA)
Musim dingin atau masa kering merupakan waktu dimana tanaman beradaptasi menjadi dorman (penundaan pertumbuhan).  Pada saat itu, ABA yang dihasilkan oleh kuncup menghambat pembelahan sel pada jaringan meristem apikal dan pada kambium pembuluh sehingga menunda  pertumbuhan primer maupun sekunder. ABA juga memberi sinyal pada kuncup untuk membentuk sisik yang akan melindungi kuncup dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan.  Dinamai dengan asam absisat karena diketahui  bahwa ZPT ini menyebabkan absisi/rontoknya daun tumbuhan pada musim gugur. Nama tersebut telah popular walaupun para peneliti tidak pernah membuktikan kalau ABA terlibat dalam  gugurnya daun.

Hormon Etilen
Ahli biologi tumbuhan menduga bahwa pematangan buah yang disimpan di dalam gudang tersebut sebenarnya berkaitan dengan produksi etilen yaitu gas hasil pembakaran minyak tanah. Sekarang diketahui bahwa tumbuhan secara alami menghasilkan  etilen yang merupakan  ZPT yang berperan memacu penuaan termasuk pematangan buah.

“ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN POHON DI BALURAN, SITUBONDO”



LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM INTERAKSI ANTAR MAKHLUK HIDUP
ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN POHON DI BALURAN, SITUBONDO”








Disusun Oleh Stasiun 8
1.      Oky Purwo Teo P     (123654054)                6.  Nuriska Ela Safitri        (123654057)
2.      Williarko Firdaus      (123654203)                7.  Nur Indah Kurniawati  (12365421)
3.      Yuliana Anggraini I  (123654227)                8.  Dina Liswati                  (123654232)
4.      A.H. Bahroini Ilma   (123654233)                9.  Nur Laili Suci A            (12365423
5.      Ismi Faridlatul Qary (123654238)                10. Dwi Septi Hana P         (123654247)


PRODI PENDIDIKAN SAINS
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Taman Nasional Baluran, Situbondo memiliki area yang luas dimana terdapat berbagai macam vegetasi yang ditemukan. Dalam setiap area terdapat tumbuhan yang hampir sama. Vegetasi (komunitas tumbuhan) diberi nama atau digolongkan berdasarkan spesies atau bentuk hidup yang dominan, habitat fisik atau kekhasan yang fungsional. Oleh karena itu, maka kita dapat menyatakan suatu komunitas seperti vegetasi, padang rumput, vegetasi pasar pantai, vegetasi kebun teh, vegetasi hutan bakau.
Analisis vegetasi ialah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan (Greig-Smith, 1983 dalam Heriyanto, 2009).
Analisis vegetasi merupakan cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Analisis vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan: 1) Mempelajari tegakan hutan, yaitu pohon dan permudaannya. 2) Mempelajari tegakan tumbuhan bawah, yang dimaksud tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan, padang rumput/alang-alang dan vegetasi semak belukar.
Dari segi floristis ekologis pengambilan sampling dengan cara “random sampling” hanya mungkin digunakan apabila lapangan dan vegetasinya homogen, misalnya padang rumput dan hutan tanaman. Pada umumnya untuk keperluan penelitian ekologi hutan lebih tepat dipakai “systematic sampling”, bahkan “purposive sampling” pun boleh digunakan pada keadaan tertentu. Luas daerah contoh vegetasi yang akan diambil datanya sangat bervariasi untuk setiap bentuk vegetasi mulai dari 1 dm2 sampai 100 m2. Suatu syarat untuk daerah pengambilan contoh haruslah representatif bagi seluruh vegetasi yang dianalisis. Keadaan ini dapat dikembalikan kepada sifat umum suatu vegetasi yaitu vegetasi berupa komunitas tumbuhan yang dibentuk oleh populasi-populasi. Jadi peranan individu suatu jenis tumbuhan sangat penting. Sifat komunitas akan ditentukan oleh keadaan individu-individu tadi, dengan demikian untuk melihat suatu komunitas sama dengan memperhatikan individu-individu atau populasinya dari seluruh jenis tumbuhan yang ada secara keseluruhan. Ini berarti bahwa daerah pengambilan contoh itu representatif bila didalamnya terdapat semua atau sebagian besar dari jenis tumbuhan pembentuk komunitas tersebut (Soemarto, 2001 dalam Heriyanto 2009).
Dengan demikian pada suatu daerah vegetasi umumnya akan terdapat suatu luas tertentu, dan daerah tadi sudah memperlihatkan kekhususan dari vegetasi secara keseluruhan.yang disebut luas minimum (Odum, 1998 dalam Heriyanto, 2009).
Dalam hal ini praktikan melakukan penelitian terhadap unit penyusun vegetasi pohon di Kawasan Taman Nasional Baluran Situbondo. Unit penyusun vegetasi (komunitas) adalah populasi, sedangkan unit penyusun populasi adalah semua individu yang berada di tempat praktikan dilakukan. Oleh karena itu, dalam penelitian mengenai vegetasi tumbuhan dilakukan dilakukan dengan cara mengamati individu-individu yang terdapat dalam populasi tersebut. Kajian mengenai vegetasi mengungkapkan sifat dari setiap populasi sehingga dapat menggambarkan vegetasi berdasarkan karakteristik suatu populasi tersebut. Dalam hal ini kami mengadakan praktikum tentang analisis vegetasi pohon
Metode yang kami lakukan dalam praktikum analisis vegetasi pohon adalah metode kuadrat. Pohon yang kami dapat dalam plot adalah pohon.
Dengan adanya hal tersebut kami melakukan praktikum tentang analisis vegetasi pohon yang selanjutnya kami akan menentukan nama pohon yang kami temukan dengan cara identifikasi, kemudian menentukan kerapataan populasi, dominansi populasi, frekuensi populasi, nilai penting suatu komunitas tumbuhan serta analisis vegetasi.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana cara mengidentifikasi nama tumbuhan komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
2.      Bagaimana cara menentukan kerapatan populasi komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
3.      Bagaimana cara menentukan dominasi relatif komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
4.      Bagaimana cara menentukan frekuensi relatif komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
5.      Bagaimana cara menentukan nilai penting suatu komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
6.      Bagaimana cara melakukan analisis vegetasi komunitas hutan mangrove (atau pohon)?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengidentifikasi nama tumbuhan komunitas hutan mangrove (atau pohon)
2.      Menentukan kerapatan populasi komunitas hutan mangrove (atau pohon)
3.      Menentukan dominasi relatif komunitas hutan mangrove (atau pohon)
4.      Menentukan frekuensi relatif komunitas hutan mangrove (atau pohon)
5.      Menentukan nilai penting suatu komunitas hutan mangrove (atau pohon)
6.      Melakukan analisis vegetasi komunitas hutan mangrove (atau pohon)











BAB II
DASAR TEORI
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atasrawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpurandan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Fungsi dan manfaat
Salah satu fungsi utama hutan bakau atau mangrove adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang besar termasuk tsunami. Di Jepang, salah satu upaya mengurangi dampak ancaman tsunami adalah dengan memasang Green Belt atau sabuk hijau hutan mangrove atau hutan bakau. Sedangkan di Indonesia, sekitar 28 wilayah di Indonesia rawan terkena tsunami karena hutan bakau sudah banyak beralih fungsi menjadi tambak, kebun kelapa sawit dan alih fungsi lain.
Luas dan Penyebaran
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Luas bakau di Indonesia mencapai 25 persen dari total luas mangrove dunia. Namun sebagian kondisinya kritis.
Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.
Lingkungan fisik dan zonasi

Pandangan di atas dan di bawah air, dekat perakaran pohon bakau, Rhizophora sp. Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah sebagai berikut :
Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.



Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.
Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.
Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata danR. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jeniskendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).
Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).

Bentuk-bentuk adaptasi
Menghadapi lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakanvegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis.

Tegakan api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan akar napas yang muncul ke atas lumpur pantai. Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyaiakar lutut (knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang pori pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun.
Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangievaporasi dari daun.
Perkembangbiakan
Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.
Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.
Suksesi hutan bakau
Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.
Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering.
Uraian di atas adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena tidak selalu hutan bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor alam seperti abrasi. Demikian pula munculnya zona-zona tak selalu dapat diperkirakan.
Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari itu.

Kekayaan flora
Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).
Berikut ini adalah daftar suku dan genus mangrove sejati, beserta jumlah jenisnya (dimodifikasi dari Tomlinson, 1986).
Penyusun utama
Suku
Genus, jumlah spesies
Nypa (nipah), 1




Penyusun minor
Paku laut, Acrostichum aureum.
Suku
Genus, jumlah spesies
Acanthus (jeruju), 1; Bravaisia, 2
Fimbristylis (mendong), 1
Excoecaria (kayu buta-buta), 2
Pemphis (cantigi laut), 1
Xylocarpus (nirih), 2
Aegiceras (kaboa), 2
Acrostichum (paku laut), 3
Heritiera (dungun)2, 3
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A.  Alat dan bahan
a.         Alat:
1)   Meteran gelang
2)   Tali rafia
3)   Timbangan
4)   Cethok
5)   Thermometer Hg atau alkohol
6)   pH dan kelembaban tanah
7)   tonggak kayu
8)   buku identifikasi
b.    Bahan:
1)   Kantong plastik
2)   Karet gelang
3)   Kertas dan pulpen

B.  Prosedur Kerja
a.    Menentukan luas area yang diteliti sepanjang garis transek di sekitar taman nasional baluran, situbondo,, jawa timur. Mengukur setiap jarak di sepanjang 1 m garis transek. Menandai tiap – tiap transek sebagaititik cuplikan tiap kelompok.
b.    Tiap kelompok mengambil setiap titik sebanyak 4 ( empat ) kali.
c.    Pada masing – masing plot kuadrat, menentukan titik pusatnya. Dari titik pusat tersebut ditentukan 4 sub titik pusat. Setelah itu menentukan jarak dari masing – masing sub titik pusat ( Metode Point Centered Quarter ).
d.   Mengidentifikasikan spesies tumbuhan pada sub titik pusat dan mengukur diameternya serta mengukur jaraknya dari point center.
e.    Mengambil daun atau bagian dari pohon tersebut untuk di buat herbarium agar mempermudah melakukan identifikasi.
f.     Mengidentifikasi pohon tersebut dengan menggunakan buku identifikasi.
g.    Mengukur pH tanah dan kelembaban tanah masing – masing dengan menggunakan soil pH menggunakan soil tester.
h.    Mengukur suhu tanah dengan thermometer alkohol atau Hg.
i.      Mengukur parameter – parameter analisis vegetasi pohon dan mangrove dengan rumus:

1.    Kerapatan

 
Dengan p: rata – rata jarak spesies ke titik pusat



2.    Frekuensi


3.    Dominansi




4.    Indeks nilai penting ( INP )

INP = KR + FR + DR
Keterangan :
KM        : kerapatan mutlak
KR         : kerapatan relative
FM         : frekuensi mutlak
FR          : frekuensi relative
DM        : dominasi mutlak
DR         : dominasi relative
























BAB IV
DATA DAN ANALISIS
A. Data

Spesies
Nama Spesies
pH
Suhu
Kelembapan
KT
KM
KR
FM
FR
DM
DR
INP
A
Rhizophora apikulata



0,008
51,26%
B
Coriop decandia



5,65 %
C
Brugeriea gymorrhayza



25,22%
D
Rhizopora sp



19,65%
E
Sonneratio sp



12,61%
F
Rhizopora stylosa



105,79%
G
Bruguiera exaristata



8,28%
H
Rhizopora mucronata lam



58,04%
I
Amyema mackayase loranthaceae



3,01%
J
Derris trifoliate lour



10,49%



Spesies
Nama Spesies
pH
Suhu
Kelembapan
KT
KM
KR
FM
FR
DM
DR
INP
A
Syzygium polyanthum
6,3
28,3oC
5,1
30,56%
14,47%
33,49%
B
Corypha utan
6,5
30oC
4
5,56 %
2,63 %
7,66%
C
Protium javanicum
6,3
29,5oC
4
11,11%
5,26 %
11,94%
D
Buchanania arborescen
6,3
30oC
4,3
11,11%
5,26 %
14,3%
E
Adenan theragersenii



11,11%
5,26 %
12,43%
F
Terminalia catappa



5,56  %
2,63 %
6,72%
G
Lontar



11,11%
5,26 %
10,97%
H
Exoecaria agallocha



5,56  %
2,63 %
8,03%
I
Tajuk agathis alba



8,33  %
3,95 %
7,65%
J
Heritiera littoralis



11,11%
5,26 %
37,4%
K
Tamarindus indica




19,44%
9,21 %
17,37%
L
Calophyllum inophyllum




11,11%
5,26 %
45,27%
M
Roystonea regia




11,11%
5,26 %
11,99%
N
Ceratolobus glaucescens




2,78  %
1,32 %
2,7%
O
Ficus racemosa




11,11%
5,26 %
12%
P
Areca catechu




11,11%
5,26 %
11%
Q
Calophyllum antillanum




11,11%
5,26 %
16,89%
R
Avicennia alba




2,78  %
1,32 %
6,7%
S
Schleichera oleosa




2,78  %
1,32 %
3,12%
T
Excoecaria agallocha L.




2,78  %
1,32 %
4,43%
U
Acacia leucophloea




2,78  %
1,32 %
2,49%
V
Garcinia cymosa




2,78  %
1,32 %
3,9%
W
Tectona grandis




8,33  %
3,95 %
6,94%
X
Anomianthus auritus




5,56  %
2,63 %
2,47%
Y
Gmelina dalrympleana




5,56  %
2,63 %
4,59%

B.  Analisis
Dari hasil percobaan yang telah kami lakukan pada seluruh stasiun ditemukan 10 spesies yaitu Rhizophora apikulata, Coriop decandia, Brugeriea gymorrhayza, Rhizopora sp, Sonneratio sp, Rhizopora stylosa, Bruguiera exaristata, Rhizopora mucronata lam, Amyema mackayase loranthaceae, dan Derris trifoliate lour. Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Rhizophora apikulata  memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Rhizophora apikulata  yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,00145, KR = 18,12%. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 20%, FR = 16%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 6 %, DR = 6 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Rhizophora apikulata  yaitu = 51,26%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Coriop decandia  memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Coriop decandia    yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0001, KR = 1,25%. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 5%, FR = 4%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 0,40 %, DR = 0,40 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Coriop decandia  yaitu = 5,65%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Brugeriea gymorrhayza memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Brugeriea gymorrhayza  yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0008, KR = 10%. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 12,5%, FR = 10%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 5,22 %, DR = 5,22 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Brugeriea gymorrhayza yaitu = 25,22%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Rhizopora sp  memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Rhizopora sp  yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0005, KR = 6,25%. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 7,5%, FR = 6%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 7,40 %, DR = 7,40 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Rhizopora sp  yaitu = 19,65%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Sonneratio sp memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Sonneratio sp yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0003, KR = 3,75%. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 5%, FR = 4%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 4,86 %, DR = 4,86 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Sonneratio sp yaitu = 12,61%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Sonneratio sp memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Sonneratio sp yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0003, KR = 3,75%. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 5%, FR = 4%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 4,86 %, DR = 4,86 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Sonneratio sp yaitu = 12,61%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Rhizopora stylosa memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Rhizopora stylosa yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0031, KR = %. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 40%, FR = 32%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 35,04 %, DR = 35,04 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Rhizopora stylosa yaitu = 105,79%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Bruguiera exaristata memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Bruguiera exaristata  yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0005, KR = %. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 5%, FR = 4%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 3,03 %, DR = 3,03 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Bruguiera exaristata yaitu = 8,28%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Rhizopora mucronata lam memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Rhizopora mucronata lam  yaitu KT = 0,008 m2, KM = , KR = %. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 20%, FR = 16%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 25,16 %, DR = 25,16 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Rhizopora mucronata lam yaitu = 58,04%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Amyema mackayase loranthaceae  memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Amyema mackayase loranthaceae  yaitu KT = 0,008 m2, KM = , KR = %. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 2,5%, FR = 2%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 0,39%, DR = 0,39%. Nilai indeks nilai penting pada spesies Amyema mackayase loranthaceae yaitu = 3,01%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Derris trifoliate lour memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai kerapatan pada spesies Derris trifoliate lour yaitu KT = 0,008 m2, KM = , KR = 3,12%. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 7,5%, FR= 6%.  Nilai dominansinya yaitu DM = 1,39%, DR = 1,39%. Nilai indeks nilai penting pada spesies Derris trifoliate lour yaitu = 10,49%.









C. Pembahasan
8.   Bruguiera gymnorrhiza
Pohon yang selalu hijau, tinggi hingga 15 m(jarang sampai 30 m), dengan pepagan berwarna abu-abu gelap hingga coklat, berlentisel. Pangkal batang sering dengan banir dan dengan banyakakar lutut[1].
Daun-daun berhadapan dalam kelompok di ujung ranting, agak tebal seperti jangat, bentuk jorong, 4,5-7 × 8,5-22 cm, hijau tua di atas dan kekuningan di sisi bawah, bertangkai 2-4 cm, dengan daun penumpu (stipule) panjang runcing di pucuknya. Tangkai daun dan daun penumpusering tersaput warna merah atau kemerahan.
Bunga soliter di ketiak daun, menggantung pada tangkai sepanjang 9-25 mm. Kelopak serupa mangkuk dengan sisi luar mulus atau paling-paling berlekuk, jarang berusuk, bertaju panjang runcing 10-14 (16) buah, hijau kuning kemerahan hingga merah terang. Helai mahkota berjumlah 10-16, putih krem lama-kelamaan jingga kecoklatan, masing-masing 13-16 mm panjangnya, berambut halus di sisi belakangnya, berbagi dua, dengan 2-3 lembar rambut halus sepanjang lk. 3 mm di ujung taju mahkota dan selembar rambut di tengah lekukannya.
Buah melingkar spiral, 2-2.5 cm panjangnya, penampangnya bundar. Yang biasanya dikira buah sesungguhnya adalah hipokotil, yakni buah yang telah berkecambah, berbentuk seperticerutu ramping, 12-25 cm panjang × 1½-2 cm gemang, hijau tua, dengan penampang bundar atau sedikit menyegi.
Putut merupakan jenis mangrove yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Pohon ini kerap mendominasi hutan bakau tua, menandai tahap akhir perkembangan zona litoral dan transisi ke zona daratan yang lebih kering. Meski lebih umum ditemukan di bagian pedalaman dibandingkan dengan di zona intertidal bawah atau di sisi yang berhadapan langsung dengan laut, pohon ini mampu hidup di pelbagai kondisi salinitas dari yang hampir tawar hingga air laut, dengan berbagai tingkat penggenangan hutan bakau dan aneka jenis substrat. Putut tumbuh baik di wilayah berlumpur, berpasir, dan sesekali juga di lumpur bergambut.
           


























BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.    Untuk mengidentifikasi nama mangrove dan pohon yaitu dengan cara mencocokkan herba yang ditemukan dengan buku identifikasi macam-macam herba.
2.    Untuk menentukan kerapatan populasi komunitas mangrove dan pohon dapat dihitung menggunakan rumus :
3.    Untuk menentukan dominasi relative komunitas mangrove dan pohon dapat dihitung menggunakan rumus :


4.    Untuk menentukan frekuensi relatif komunitas mangrove dan pohon dapat dihitung menggunakan rumus :

5.    Untuk menentukan nilai penting suatu komunitas mangrove dan pohon dapat dihitung menggunakan rumus : INP = FR + KR + DR
6.    Untuk melakukan analisis vegetasi komunitas mangrove dan pohon dapat diketahui dengan nilai indeks dominansi. Jika ID = 1, maka distribusi random. Jika ID ˃ 1, maka distribusi seragam. Jika ID ˂ 1, maka distribusi mengelompok


DAFTAR PUSTAKA
Rachmadiarti, Fida dan Herlina Fitrihidajati. 2013. Panduan Praktikum Interaksi Antar Makhluk Hidup. Surabaya: Unesa University Press
Rachmadiarti, Fida dkk. 2007. Biologi Umum. Surabaya: Unipress UNESA
Kimball,J.W.1983. Biologi.Jakarta:Erlangga