- Teori Relativitas Waktu yang dikemukakan Albert Einstein pada abad 20. sementara itu, pada abad 7 sebuah ayat di dalam Al-Quran seolah-olah telah mengisyaratkan ini, "Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan itu) naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitungan engkau (QS. 32: 5)."
- Menurut teori Big Bang, sekitar 13,7 miliar tahun silam alam semesta berasal dari satu titik tunggal yang padu, kemudian meledak. Dan, 2,5 miliar tahun silam,kehidupan di bumi bermula di air, tepatnya di laut. Sebuah ayat seolah-olah mengisyaratkan ini, "Sesungguhnya langit dan bumi itu keduanya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya. Dan dari air Kami mulakan segala kehidupan (QS. 21: 30)."
- Menurut Teori Expanding Universe yang dikemukakan pada abad 20, alam semesta ini terus menerus meluas. Sementara itu, belasan abad sebelumnya sebuah ayat seolah-olah telah mengisyaratkan ini, "Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan Kami, dan sesungguhnya Kami-lah yang meluaskannya (QS. 51: 47)."
- Ptolemeus menganggap tata surya ini bumi-sentris (150 M), sedangkan Copernicus menganggap matahari-sentris (1543 M). Ternyata, bumi dan matahari beredar. Sebuah ayat seolah-olah mengisyaratkan ini, "Maka Dia jadikan tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya (QS. 41: 12)."
- Atmosfer bumi terdiri dari tujuh lapis, dan tiap-tiap lapis mempunyai peranan tersendiri. Sebuah ayat seolah-olah mengisyaratkan ini, "Maka Dia jadikan tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit utusannya (QS. 41 :12)."
- Besi (Fe) tidak dihasilkan di bumi, tetapi diturunkan ke bumi melalui meteor, yang berasal dari bintang-bintang yang meletup. Sebuah ayat seolah-olah mengisyaratkan ini, "Dan Kami turunkan besi, yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia. (QS. 57: 25)."
- Kehidupan di dalam rahim memiliki tiga tahapan, yaitu pre-embrionik, embrionik, dan janin. Sebuah ayat seolah-olah mengisyaratkan ini, "Dia menjadikan engkau dalam perut ibu engkau kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan (QS. 39: 6)."
Ganbatte, Sains! ('o')9
Selamat datang. Semoga bermanfaat!
Quote
"If better is possible, good is NOT enough"
~Andrie Wongso~
~Andrie Wongso~
Senin, 22 Desember 2014
Fenomena Sains yang Telah Terjelaskan di dalam Al-Qur'an
Pada buku Ippho Santosa yang berjudul 7 Keajaiban Rezeki, beliau memaparkan beberapa fenomena sains yang telah tercantum di Al-Quran jauh sebelum penemuan itu terbukti nyata. Fenomena-fenomena itu antara lain:
Kamis, 18 Desember 2014
SENYAWA PADA TUMBUHAN
Hormon tumbuhan adalah senyawa
organik yang disentesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan ke bagian
lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon
fisiologis. Hormon adalah molekul-molekul yang kegiatannya mengatur
reaksi-reaksi metabolik penting. Molekul-molekul tersebut dibentuk di
dalam organisme dengan proses metabolik dan tidak berfungsi didalam nutrisi
(Heddy, 1989).
Hormon tanaman dapat diartikan luas,
baik yang buatan maupun yang asli serta yang mendorong ataupun yang menghambat
pertumbuhan (Overbeek,1950 dalam Kusumo, 1984). Pada kadar rendah
tertentu hormon/zat tumbuh akan mendorong pertumbuhan, sedangkan pada kadar
yang lebih tinggi akan menghambat pertumbuhan, meracuni, bahkan mematikan
tanaman (Kusumo,1984). Hormon yang telah dikenal: auksin, sitokinin,
giberelin, asam absisat dan etilen.
Hormon Auksin
Auksin banyak disusun di jaringan
meristem di dalam ujung-ujung tanaman seperti pucuk, kuncup bunga, tunas daun
dan lain-lainnya lagi (Dwidjoseputro, 1990).
Kusumo (1984) menyatakan perakaran yang timbul
pada stek disebabkan oleh dorongan auksin yang berasal dari tunas dan daun.
Tunas yang sehat pada batang adalah sumber auksin dan merupakan faktor penting
dalam perakaran.
Tempat sintesis utama auksin pada
tanaman yaitu di daerah meristem apikal tunas ujung. IAA yang diproduksi
di tunas ujung tersebut diangkut ke bagian bawah dan berfungsi mendorong
pemanjangan sel batang. IAA mendorong pemanjangan sel batang
hanya pada konsentrasi tertentu yaitu 0,9 g/l. Di atas konsentrasi tersebut IAA
akan menghambat pemanjangan sel batang. Pengaruh menghambat ini kemungkinan
terjadi karena konsentrasi IAA yang tinggi mengakibatkan
tanaman mensintesis ZPT lain yaitu etilen yang memberikan pengaruh berlawanan
dengan IAA.
Jumlah kadar auksin yang terdapat
pada organ stek bervariasi. Pada stek yang memiliki kadar auksin lebih tinggi,
lebih mampu menumbuhkan akar dan menghasilkan persen hidup stek lebih tinggi
daripada stek yang memiliki kadar yang rendah. Sebagaimana diketahui bahwa
auksin adalah jenis hormon penumbuh yang dibuat oleh tanaman dan berfungsi
sebagai katalisator dalam metabolisme dan berperan sebagai penyebab
perpanjangan sel (Alrasyid dan Widiarti, 1990).
Ada beberapa macam hormon dari
kelompok auksin ini, antara lain adalah IAA (Indole Acetic Acid), NAA (Napthalen
Acetic Acid) dan IBA (Indole Butyric Acid).
·
Fungsi utama dari hormon auksin :
mempengaruhi pertambahan panjang batang, pertumbuhan, diferensiasi dan
percabangan akar; perkembangan buah; dominansi apikal; fototropisme dan
geotropisme.
·
Tempat dihasilkan dan lokasinya pada
tumbuhan : Meristem apikal tunas ujung, daun muda, embrio dalam biji.
Hormon Sitokinin
Sitokinin merupakan ZPT yang
mendorong pembelahan (sitokinesis). Beberapa macam sitokinin
merupakan sitokinin alami (misal : kinetin, zeatin) dan beberapa lainnya
merupakan sitokinin sintetik. Sitokinin alami dihasilkan pada jaringan
yang tumbuh aktif terutama pada akar, embrio dan buah. Sitokinin yang
diproduksi di akar selanjutnya diangkut oleh xilem menuju sel-sel target pada
batang.
Hormon Giberelin
Pada tahun 1926, ilmuwan Jepang
(Eiichi Kurosawa) menemukan bahwa cendawan Gibberella fujikuroi
mengeluarkan senyawa kimia yang menjadi penyebab penyakit tersebut. Senyawa
kimia tersebut dinamakan Giberelin. Belakangan ini, para peneliti
menemukan bahwa giberelin dihasilkan secara alami oleh tanaman yang
memiliki fungsi sebagai ZPT. Penyakit rebah kecambah ini akan muncul pada
saat tanaman padi terinfeksi oleh cendawan Gibberella fujikuroi yang
menghasilkan senyawa giberelin dalam jumlah berlebihan.
Hormon Asam Absisat (ABA)
Musim dingin atau masa kering
merupakan waktu dimana tanaman beradaptasi menjadi dorman (penundaan
pertumbuhan). Pada saat itu, ABA yang dihasilkan oleh kuncup menghambat
pembelahan sel pada jaringan meristem apikal dan pada kambium pembuluh sehingga
menunda pertumbuhan primer maupun sekunder. ABA juga memberi sinyal pada
kuncup untuk membentuk sisik yang akan melindungi kuncup dari kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan. Dinamai dengan asam absisat karena
diketahui bahwa ZPT ini menyebabkan absisi/rontoknya daun tumbuhan pada
musim gugur. Nama tersebut telah popular walaupun para peneliti tidak pernah
membuktikan kalau ABA terlibat dalam gugurnya daun.
Hormon Etilen
Ahli biologi tumbuhan menduga bahwa
pematangan buah yang disimpan di dalam gudang tersebut sebenarnya berkaitan
dengan produksi etilen yaitu gas hasil pembakaran minyak tanah. Sekarang
diketahui bahwa tumbuhan secara alami menghasilkan etilen yang
merupakan ZPT yang berperan memacu penuaan termasuk pematangan buah.
Sumber : http://www.fisiologi-pohon.com/
“ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN POHON DI BALURAN, SITUBONDO”
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM INTERAKSI
ANTAR MAKHLUK HIDUP
“ANALISIS
VEGETASI MANGROVE DAN POHON DI BALURAN, SITUBONDO”
Disusun Oleh Stasiun 8
1.
Oky
Purwo Teo P (123654054) 6. Nuriska Ela Safitri (123654057)
2.
Williarko Firdaus (123654203) 7.
Nur Indah Kurniawati (12365421)
3.
Yuliana
Anggraini I (123654227) 8. Dina Liswati (123654232)
4.
A.H. Bahroini Ilma (123654233) 9. Nur Laili
Suci A (12365423
5.
Ismi
Faridlatul Qary (123654238) 10. Dwi Septi Hana P (123654247)
PRODI PENDIDIKAN SAINS
FAKULTAS MATEMATIKA DAN
ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI
SURABAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Taman Nasional Baluran, Situbondo memiliki area yang
luas dimana terdapat berbagai macam vegetasi yang ditemukan. Dalam setiap area
terdapat tumbuhan yang hampir sama. Vegetasi (komunitas tumbuhan) diberi nama
atau digolongkan berdasarkan spesies atau bentuk hidup yang dominan, habitat
fisik atau kekhasan yang fungsional. Oleh karena itu, maka kita dapat
menyatakan suatu komunitas seperti vegetasi, padang rumput, vegetasi pasar
pantai, vegetasi kebun teh, vegetasi hutan bakau.
Analisis vegetasi ialah suatu cara mempelajari susunan
dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat
tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan,
stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan
data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari
penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh
informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan
(Greig-Smith, 1983 dalam Heriyanto,
2009).
Analisis vegetasi merupakan cara mempelajari susunan
(komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat
tumbuh-tumbuhan. Analisis vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan
dan bentuk vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan: 1) Mempelajari tegakan
hutan, yaitu pohon dan permudaannya. 2) Mempelajari tegakan tumbuhan bawah,
yang dimaksud tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di
bawah tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan, padang rumput/alang-alang
dan vegetasi semak belukar.
Dari segi floristis ekologis pengambilan sampling
dengan cara “random sampling” hanya mungkin digunakan apabila lapangan dan
vegetasinya homogen, misalnya padang rumput dan hutan tanaman. Pada umumnya
untuk keperluan penelitian ekologi hutan lebih tepat dipakai “systematic
sampling”, bahkan “purposive sampling” pun boleh digunakan pada keadaan
tertentu. Luas daerah contoh vegetasi yang akan diambil datanya sangat
bervariasi untuk setiap bentuk vegetasi mulai dari 1 dm2 sampai 100
m2. Suatu syarat untuk daerah pengambilan contoh haruslah
representatif bagi seluruh vegetasi yang dianalisis. Keadaan ini dapat
dikembalikan kepada sifat umum suatu vegetasi yaitu vegetasi berupa komunitas
tumbuhan yang dibentuk oleh populasi-populasi. Jadi peranan individu suatu
jenis tumbuhan sangat penting. Sifat komunitas akan ditentukan oleh keadaan
individu-individu tadi, dengan demikian untuk melihat suatu komunitas sama
dengan memperhatikan individu-individu atau populasinya dari seluruh jenis
tumbuhan yang ada secara keseluruhan. Ini berarti bahwa daerah pengambilan
contoh itu representatif bila didalamnya terdapat semua atau sebagian besar
dari jenis tumbuhan pembentuk komunitas tersebut (Soemarto, 2001 dalam Heriyanto 2009).
Dengan demikian pada suatu daerah vegetasi umumnya
akan terdapat suatu luas tertentu, dan daerah tadi sudah memperlihatkan
kekhususan dari vegetasi secara keseluruhan.yang disebut luas minimum (Odum,
1998 dalam Heriyanto, 2009).
Dalam hal ini praktikan melakukan penelitian
terhadap unit penyusun vegetasi pohon di Kawasan Taman Nasional Baluran
Situbondo. Unit penyusun vegetasi (komunitas)
adalah populasi, sedangkan unit penyusun populasi adalah semua individu yang
berada di tempat praktikan dilakukan. Oleh karena itu, dalam penelitian
mengenai vegetasi tumbuhan dilakukan dilakukan dengan cara mengamati
individu-individu yang terdapat dalam populasi tersebut. Kajian mengenai
vegetasi mengungkapkan sifat dari setiap populasi sehingga dapat menggambarkan
vegetasi berdasarkan karakteristik suatu populasi tersebut. Dalam hal ini kami
mengadakan praktikum tentang analisis vegetasi pohon
Metode yang kami lakukan dalam praktikum
analisis vegetasi pohon adalah metode kuadrat. Pohon yang kami dapat dalam plot
adalah pohon.
Dengan adanya hal tersebut kami
melakukan praktikum tentang analisis vegetasi pohon yang selanjutnya kami akan
menentukan nama pohon yang kami temukan dengan cara identifikasi, kemudian
menentukan kerapataan populasi, dominansi populasi, frekuensi populasi, nilai
penting suatu komunitas tumbuhan serta analisis vegetasi.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
cara mengidentifikasi nama tumbuhan komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
2. Bagaimana
cara menentukan kerapatan populasi komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
3. Bagaimana
cara menentukan dominasi relatif komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
4. Bagaimana
cara menentukan frekuensi relatif komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
5. Bagaimana
cara menentukan nilai penting suatu komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
6. Bagaimana
cara melakukan analisis vegetasi komunitas hutan mangrove (atau pohon)?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi
nama tumbuhan komunitas hutan mangrove (atau pohon)
2. Menentukan
kerapatan populasi komunitas hutan mangrove (atau pohon)
3. Menentukan
dominasi relatif komunitas hutan mangrove (atau pohon)
4. Menentukan
frekuensi relatif komunitas hutan mangrove (atau pohon)
5. Menentukan
nilai penting suatu komunitas hutan mangrove (atau pohon)
6. Melakukan
analisis vegetasi komunitas hutan mangrove (atau pohon)
BAB II
DASAR TEORI
Hutan bakau atau disebut juga hutan
mangrove adalah hutan yang tumbuh di atasrawa-rawa berair payau yang terletak pada garis
pantai dan
dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di
tempat-tempat di mana terjadi pelumpurandan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan
lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik
karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami
daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang
bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat
khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Fungsi dan manfaat
Salah satu fungsi utama hutan bakau atau
mangrove adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam
gelombang besar termasuk tsunami. Di Jepang, salah satu upaya mengurangi dampak
ancaman tsunami adalah dengan memasang Green Belt atau sabuk hijau hutan
mangrove atau hutan bakau. Sedangkan di Indonesia, sekitar 28 wilayah di
Indonesia rawan terkena tsunami karena hutan bakau sudah banyak beralih fungsi
menjadi tambak, kebun kelapa sawit dan alih fungsi lain.
Luas dan Penyebaran
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian
yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di
subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia.
Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha)
(Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Luas bakau di Indonesia mencapai 25 persen
dari total luas mangrove dunia. Namun sebagian kondisinya kritis.
Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas
terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan
tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh
kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik
terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta
ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.
Lingkungan fisik dan zonasi
Pandangan di atas dan di bawah air, dekat
perakaran pohon bakau, Rhizophora sp. Jenis-jenis
tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan
fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan
fisik tersebut adalah sebagai berikut :
Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di
pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas
lumpur tanah
liat bercampur
dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini
sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas
tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan
pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau
yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang
keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih
tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung
dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya,
salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang
agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang
menahan laju ombak besar.
Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan air
pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang
terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan
mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua
kali dalam sebulan.
Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan
seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya
berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga
ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh
di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora
apiculata danR. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan
bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir
berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia
alba) di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih
tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R.
mucronata dengan jenis-jeniskendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain.
Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia
caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).
Pada bagian yang lebih kering di pedalaman
hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun
(Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).
Bentuk-bentuk adaptasi
Menghadapi lingkungan yang ekstrem di hutan
bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakanvegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk
bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk
adaptasi fisiologis.
Tegakan api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan
akar napas yang muncul ke atas lumpur pantai. Pohon-pohon bakau
(Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari
ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.)
menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari
pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyaiakar lutut (knee root), sementara
pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan
yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas
lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula
kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang pori
pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi,
api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya.
Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem
perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah
hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air
laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di
tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya
daun.
Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya
memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan
air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong
tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan
mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik,
sehingga mengurangievaporasi dari daun.
Perkembangbiakan
Adaptasi lain yang penting diperlihatkan
dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir
tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas
lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur
dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.
Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki
biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti
arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah berkecambah
sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah
perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera).
Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa
tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh,
buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau
terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan.
Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya
sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah
pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya.
Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup
dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan
istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa
oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin
menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut
lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama
perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa
jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya,
sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk
tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.
Suksesi hutan bakau
Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal
dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan
bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan
basah (disebut hydrosere).
Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada
uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu
paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau.
Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul
vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat
bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir
yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan
diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat
laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin
meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan
mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis
pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke
bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah
zona yang baru di bagian belakang.
Demikian perubahan terus terjadi, yang
memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju
dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian
pedalaman yang mengering.
Uraian di atas adalah penyederhanaan, dari
keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena tidak selalu hutan
bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor
alam seperti abrasi. Demikian pula munculnya zona-zona tak
selalu dapat diperkirakan.
Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan
mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya
kurang dari itu.
Kekayaan flora
Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan
bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap
sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup
terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya
ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang
paling kaya jenis di lingkungan Samudera
Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah
diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk,
1999).
Berikut ini adalah daftar suku dan genus mangrove sejati, beserta jumlah
jenisnya (dimodifikasi dari Tomlinson, 1986).
Penyusun utama
Suku
|
Genus, jumlah spesies
|
Penyusun minor
Paku laut, Acrostichum aureum.
Suku
|
Genus, jumlah spesies
|
Camptostemon, 2
|
|
Osbornia, 1
|
|
Pelliciera, 1
|
|
Aegialitis, 2
|
|
Scyphiphora, 1
|
|
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A.
Alat
dan bahan
a.
Alat:
1)
Meteran gelang
2)
Tali rafia
3)
Timbangan
4)
Cethok
5)
Thermometer Hg atau alkohol
6)
pH dan kelembaban tanah
7)
tonggak kayu
8)
buku identifikasi
b. Bahan:
1)
Kantong plastik
2)
Karet gelang
3)
Kertas dan pulpen
B.
Prosedur
Kerja
a. Menentukan
luas area yang diteliti sepanjang garis transek di sekitar taman nasional
baluran, situbondo,, jawa timur. Mengukur setiap jarak di sepanjang 1 m garis
transek. Menandai tiap – tiap transek sebagaititik cuplikan tiap kelompok.
b.
Tiap kelompok mengambil
setiap titik sebanyak 4 ( empat ) kali.
c.
Pada masing – masing
plot kuadrat, menentukan titik pusatnya. Dari titik pusat tersebut ditentukan 4
sub titik pusat. Setelah itu menentukan jarak dari masing – masing sub titik
pusat ( Metode Point Centered Quarter
).
d.
Mengidentifikasikan
spesies tumbuhan pada sub titik pusat dan mengukur diameternya serta mengukur
jaraknya dari point center.
e.
Mengambil daun atau
bagian dari pohon tersebut untuk di buat herbarium agar mempermudah melakukan
identifikasi.
f.
Mengidentifikasi pohon
tersebut dengan menggunakan buku identifikasi.
g.
Mengukur pH tanah dan
kelembaban tanah masing – masing dengan menggunakan soil pH menggunakan soil
tester.
h.
Mengukur suhu tanah
dengan thermometer alkohol atau Hg.
i.
Mengukur parameter –
parameter analisis vegetasi pohon dan mangrove dengan rumus:
1. Kerapatan
Dengan
p: rata – rata jarak spesies ke titik pusat
2.
Frekuensi
3.
Dominansi
4.
Indeks
nilai penting ( INP )
INP = KR + FR + DR
Keterangan
:
KM : kerapatan mutlak
KR : kerapatan relative
FM : frekuensi mutlak
FR : frekuensi relative
DM : dominasi mutlak
DR : dominasi relative
BAB IV
DATA DAN ANALISIS
A.
Data
Spesies
|
Nama Spesies
|
pH
|
Suhu
|
Kelembapan
|
KT
|
KM
|
KR
|
FM
|
FR
|
DM
|
DR
|
INP
|
A
|
Rhizophora apikulata
|
|
|
|
0,008
|
|
|
|
|
|
|
51,26%
|
B
|
Coriop decandia
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5,65 %
|
|
C
|
Brugeriea gymorrhayza
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
25,22%
|
|
D
|
Rhizopora sp
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
19,65%
|
|
E
|
Sonneratio sp
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
12,61%
|
|
F
|
Rhizopora stylosa
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
105,79%
|
|
G
|
Bruguiera exaristata
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8,28%
|
|
H
|
Rhizopora mucronata lam
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
58,04%
|
|
I
|
Amyema mackayase loranthaceae
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3,01%
|
|
J
|
Derris trifoliate lour
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
10,49%
|
Spesies
|
Nama Spesies
|
pH
|
Suhu
|
Kelembapan
|
KT
|
KM
|
KR
|
FM
|
FR
|
DM
|
DR
|
INP
|
A
|
Syzygium
polyanthum
|
6,3
|
28,3oC
|
5,1
|
|
|
|
30,56%
|
14,47%
|
|
|
33,49%
|
B
|
Corypha
utan
|
6,5
|
30oC
|
4
|
|
|
5,56
%
|
2,63
%
|
|
|
7,66%
|
|
C
|
Protium
javanicum
|
6,3
|
29,5oC
|
4
|
|
|
11,11%
|
5,26
%
|
|
|
11,94%
|
|
D
|
Buchanania
arborescen
|
6,3
|
30oC
|
4,3
|
|
|
11,11%
|
5,26
%
|
|
|
14,3%
|
|
E
|
Adenan
theragersenii
|
|
|
|
|
|
11,11%
|
5,26
%
|
|
|
12,43%
|
|
F
|
Terminalia
catappa
|
|
|
|
|
|
5,56 %
|
2,63
%
|
|
|
6,72%
|
|
G
|
Lontar
|
|
|
|
|
|
11,11%
|
5,26
%
|
|
|
10,97%
|
|
H
|
Exoecaria
agallocha
|
|
|
|
|
|
5,56 %
|
2,63
%
|
|
|
8,03%
|
|
I
|
Tajuk
agathis alba
|
|
|
|
|
|
8,33 %
|
3,95
%
|
|
|
7,65%
|
|
J
|
Heritiera
littoralis
|
|
|
|
|
|
11,11%
|
5,26
%
|
|
|
37,4%
|
|
K
|
Tamarindus indica
|
|
|
|
|
|
|
19,44%
|
9,21
%
|
|
|
17,37%
|
L
|
Calophyllum
inophyllum
|
|
|
|
|
|
|
11,11%
|
5,26
%
|
|
|
45,27%
|
M
|
Roystonea
regia
|
|
|
|
|
|
|
11,11%
|
5,26
%
|
|
|
11,99%
|
N
|
Ceratolobus
glaucescens
|
|
|
|
|
|
|
2,78 %
|
1,32
%
|
|
|
2,7%
|
O
|
Ficus racemosa
|
|
|
|
|
|
|
11,11%
|
5,26
%
|
|
|
12%
|
P
|
Areca catechu
|
|
|
|
|
|
|
11,11%
|
5,26
%
|
|
|
11%
|
Q
|
Calophyllum antillanum
|
|
|
|
|
|
|
11,11%
|
5,26
%
|
|
|
16,89%
|
R
|
Avicennia
alba
|
|
|
|
|
|
|
2,78 %
|
1,32
%
|
|
|
6,7%
|
S
|
Schleichera
oleosa
|
|
|
|
|
|
|
2,78 %
|
1,32
%
|
|
|
3,12%
|
T
|
Excoecaria
agallocha
L.
|
|
|
|
|
|
|
2,78 %
|
1,32
%
|
|
|
4,43%
|
U
|
Acacia
leucophloea
|
|
|
|
|
|
|
2,78 %
|
1,32
%
|
|
|
2,49%
|
V
|
Garcinia cymosa
|
|
|
|
|
|
|
2,78 %
|
1,32
%
|
|
|
3,9%
|
W
|
Tectona grandis
|
|
|
|
|
|
|
8,33 %
|
3,95
%
|
|
|
6,94%
|
X
|
Anomianthus auritus
|
|
|
|
|
|
|
5,56 %
|
2,63
%
|
|
|
2,47%
|
Y
|
Gmelina dalrympleana
|
|
|
|
|
|
|
5,56 %
|
2,63
%
|
|
|
4,59%
|
B. Analisis
Dari hasil percobaan yang telah kami
lakukan pada seluruh stasiun ditemukan 10 spesies yaitu Rhizophora apikulata, Coriop decandia, Brugeriea
gymorrhayza, Rhizopora sp, Sonneratio sp, Rhizopora stylosa, Bruguiera
exaristata, Rhizopora mucronata lam, Amyema mackayase loranthaceae, dan
Derris trifoliate lour. Tanah pada plot dimana ditemukan
spesies Rhizophora apikulata memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai
kerapatan pada spesies Rhizophora apikulata yaitu KT = 0,008 m2,
KM = 0,00145, KR = 18,12%. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 20%, FR = 16%. Nilai dominansinya yaitu DM = 6 %, DR = 6 %.
Nilai indeks nilai penting pada spesies Rhizophora
apikulata yaitu = 51,26%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Coriop decandia
memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai
kerapatan pada spesies Coriop decandia
yaitu
KT = 0,008 m2, KM = 0,0001, KR = 1,25%. Nilai frekuensi spesies ini
yaitu FM = 5%, FR = 4%. Nilai
dominansinya yaitu DM = 0,40 %, DR = 0,40 %. Nilai indeks nilai penting pada
spesies Coriop decandia
yaitu = 5,65%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Brugeriea gymorrhayza memiliki kelembapan 4, pH 6, dan
suhu 290C.
Nilai
kerapatan pada spesies Brugeriea gymorrhayza yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0008,
KR = 10%. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 12,5%, FR = 10%. Nilai dominansinya yaitu DM = 5,22 %, DR =
5,22 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Brugeriea
gymorrhayza yaitu = 25,22%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Rhizopora sp
memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai
kerapatan pada spesies Rhizopora sp yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0005,
KR = 6,25%. Nilai frekuensi spesies ini yaitu FM = 7,5%, FR = 6%. Nilai dominansinya yaitu DM = 7,40 %, DR =
7,40 %. Nilai indeks nilai penting pada spesies Rhizopora
sp yaitu = 19,65%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Sonneratio sp memiliki kelembapan 4, pH 6, dan
suhu 290C.
Nilai
kerapatan pada spesies Sonneratio sp
yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0003, KR = 3,75%. Nilai frekuensi
spesies ini yaitu FM = 5%, FR = 4%.
Nilai dominansinya yaitu DM = 4,86 %, DR = 4,86 %. Nilai indeks nilai
penting pada spesies Sonneratio sp
yaitu = 12,61%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Sonneratio sp memiliki kelembapan 4, pH 6, dan
suhu 290C.
Nilai
kerapatan pada spesies Sonneratio sp
yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0003, KR = 3,75%. Nilai frekuensi spesies
ini yaitu FM = 5%, FR = 4%. Nilai
dominansinya yaitu DM = 4,86 %, DR = 4,86 %. Nilai indeks nilai penting pada
spesies Sonneratio sp
yaitu = 12,61%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Rhizopora stylosa memiliki kelembapan 4, pH 6, dan
suhu 290C.
Nilai
kerapatan pada spesies Rhizopora stylosa
yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0031, KR =
%. Nilai frekuensi spesies ini
yaitu FM = 40%, FR = 32%. Nilai
dominansinya yaitu DM = 35,04 %, DR = 35,04 %. Nilai indeks nilai penting pada
spesies Rhizopora stylosa
yaitu = 105,79%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Bruguiera exaristata memiliki kelembapan 4, pH 6, dan
suhu 290C.
Nilai
kerapatan pada spesies Bruguiera exaristata yaitu KT = 0,008 m2, KM = 0,0005,
KR =
%. Nilai frekuensi spesies ini
yaitu FM = 5%, FR = 4%. Nilai
dominansinya yaitu DM = 3,03 %, DR = 3,03 %. Nilai indeks nilai penting pada
spesies Bruguiera exaristata
yaitu = 8,28%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Rhizopora mucronata lam memiliki kelembapan 4, pH 6, dan
suhu 290C.
Nilai
kerapatan pada spesies Rhizopora mucronata lam yaitu KT = 0,008 m2, KM =
, KR =
%. Nilai frekuensi spesies ini
yaitu FM = 20%, FR = 16%. Nilai
dominansinya yaitu DM = 25,16 %, DR = 25,16 %. Nilai indeks nilai penting pada
spesies Rhizopora mucronata lam
yaitu = 58,04%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Amyema mackayase loranthaceae memiliki kelembapan 4, pH 6, dan suhu 290C. Nilai
kerapatan pada spesies Amyema mackayase loranthaceae yaitu KT = 0,008 m2, KM =
, KR =
%. Nilai frekuensi spesies ini
yaitu FM = 2,5%, FR = 2%. Nilai
dominansinya yaitu DM = 0,39%, DR = 0,39%. Nilai indeks nilai penting pada
spesies Amyema mackayase loranthaceae
yaitu = 3,01%.
Tanah pada plot dimana ditemukan spesies Derris trifoliate lour memiliki kelembapan 4, pH 6, dan
suhu 290C.
Nilai
kerapatan pada spesies Derris trifoliate lour
yaitu KT = 0,008 m2, KM =
, KR = 3,12%. Nilai frekuensi
spesies ini yaitu FM = 7,5%, FR= 6%.
Nilai dominansinya yaitu DM = 1,39%, DR = 1,39%. Nilai indeks nilai
penting pada spesies Derris trifoliate lour
yaitu = 10,49%.
C. Pembahasan
8. Bruguiera
gymnorrhiza
Pohon yang selalu hijau, tinggi hingga 15 m(jarang
sampai 30 m), dengan pepagan berwarna abu-abu gelap hingga coklat, berlentisel.
Pangkal batang sering dengan banir dan dengan banyakakar lutut[1].
Daun-daun berhadapan dalam kelompok di ujung
ranting, agak tebal seperti jangat, bentuk jorong,
4,5-7 × 8,5-22 cm,
hijau tua di atas dan kekuningan di sisi bawah, bertangkai 2-4 cm, dengan daun
penumpu (stipule) panjang runcing di pucuknya. Tangkai daun dan daun
penumpusering tersaput warna merah atau kemerahan.
Bunga soliter di ketiak daun, menggantung
pada tangkai sepanjang 9-25 mm.
Kelopak serupa mangkuk dengan sisi luar mulus atau paling-paling berlekuk,
jarang berusuk, bertaju panjang runcing 10-14 (16) buah, hijau kuning kemerahan hingga merah
terang. Helai mahkota berjumlah 10-16, putih krem lama-kelamaan jingga
kecoklatan, masing-masing 13-16 mm panjangnya, berambut halus di sisi
belakangnya, berbagi dua, dengan 2-3 lembar rambut halus sepanjang lk. 3 mm di
ujung taju mahkota dan selembar rambut di tengah lekukannya.
Buah melingkar spiral, 2-2.5 cm panjangnya,
penampangnya bundar. Yang biasanya dikira buah sesungguhnya adalah hipokotil,
yakni buah yang telah berkecambah, berbentuk seperticerutu ramping, 12-25 cm panjang × 1½-2 cm
gemang, hijau tua, dengan penampang bundar atau sedikit menyegi.
Putut merupakan jenis mangrove yang memiliki kemampuan adaptasi yang
tinggi. Pohon ini kerap mendominasi hutan bakau tua, menandai tahap akhir
perkembangan zona litoral dan transisi ke zona daratan yang lebih kering. Meski
lebih umum ditemukan di bagian pedalaman dibandingkan dengan di zona intertidal
bawah atau di sisi yang berhadapan langsung dengan laut,
pohon ini mampu hidup di pelbagai kondisi salinitas dari yang hampir tawar hingga air
laut, dengan berbagai tingkat penggenangan hutan bakau dan aneka jenis
substrat. Putut tumbuh baik di wilayah berlumpur, berpasir, dan sesekali juga
di lumpur bergambut.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Untuk mengidentifikasi nama mangrove dan
pohon yaitu dengan cara mencocokkan herba yang ditemukan dengan buku
identifikasi macam-macam herba.
2.
Untuk menentukan kerapatan populasi komunitas mangrove
dan pohon dapat dihitung menggunakan rumus :
3.
Untuk menentukan dominasi relative komunitas mangrove
dan pohon dapat dihitung menggunakan rumus :
4.
Untuk menentukan frekuensi relatif komunitas mangrove
dan pohon dapat dihitung menggunakan rumus :
5. Untuk
menentukan nilai penting suatu komunitas mangrove
dan pohon dapat dihitung menggunakan rumus : INP = FR + KR + DR
6.
Untuk melakukan analisis vegetasi komunitas mangrove
dan pohon dapat diketahui dengan nilai indeks dominansi. Jika ID = 1, maka distribusi random.
Jika ID ˃ 1, maka distribusi seragam.
Jika ID ˂ 1, maka distribusi mengelompok
DAFTAR PUSTAKA
Rachmadiarti,
Fida dan Herlina Fitrihidajati. 2013. Panduan Praktikum Interaksi Antar Makhluk
Hidup. Surabaya: Unesa University Press
Rachmadiarti,
Fida dkk. 2007. Biologi Umum. Surabaya: Unipress UNESA
Kimball,J.W.1983.
Biologi.Jakarta:Erlangga
Langganan:
Postingan (Atom)